CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sunday, March 29, 2009

Sang penyejuk hati

Kenapa dia sangat menghormatiku???

Jika aku menghormatinya setinggi gunung maka dia akan menghormatiku setinggi langit

Aku capek, harus menjadi orang dewasa, yang bisa mengayomi teman-temanku

Tersenyum di bawah penderitaan, untuk melihat mereka tersenyum

“tabassumuka fi wajhi akhiika shadaqah”
Senyummu di hadapan saudaramu adalah shadaqah

Yaa, aku hanya mencoba mengamalkan hadits di atas, untuk mengharap ridho Allah
Namun, aku lelah jika harus selalu mendengar keluh kesah mereka, sedangkan keluh kesahku tak dapat ku keluarkan.

Setiap orang memiliki sisi kedewasaan dan sisi kekanak-kanakan.

Kadang aku ingin dianggap sebagai anak kecil yang disayangi dan dimanjakan.
Dan harapan ini kutambatkan kepadanya.

Dia yang dapat menenangkan hatiku, walau jarang ku dengar suaranya, walau jarang ku lihat wajahnya, hanya dengan membaca tulisannya.

Astaghfirullahal ‘adziim

Tak ada kata yang dapat ku ucapakan, hanya senyum dan anggukan yang keluar dariku dan darinya ketika kita bertemu. Yah, dia amat sangat menghormatiku, padahal aku amat sangat mengaguminya.

Aku membutuhkannya

ketika jiwaku tergoncang, melihat senyumnya seakan-akan goncangan itu hanya mengayun lembut tubuhku.

Ketika diriku tertekan, aku membayangkannya berjalan ke arahku, berusaha untuk menghiburku. Walau hanya dalam bayangan, namun auranya dapat ku rasakan.

Dalam kebahagiaan pun, aku ingin membagi perasaan itu dengannya.
Ah, selama ini aku hanya bertahan dengan kekuatan impian itu.

Berharap kepada manusia harus berani menanggung resiko kecewa dan putus asa, dan aku tak mau merasakannya.

Harapan itu kini kutambatkan kepada Allah Sang Pencipta, melewati do’a, aku meminta
“ ya Allah, jadikanlah dia penyejuk hatiku, setelah kalam-Mu dan cinta-Mu”
Amien..
Selengkapnya...

Friday, March 27, 2009

Musykom IMM UGM


href="file:///C:%5CUsers%5Cmiftah%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml">

Indah bukan pemandangan di atas?? Subhanallah walhamdulillah..walaa ilaaha illallah..wallahu akbar

Ku ceritakan pada kalian

Jum’at 20 Maret 2009, pukul 22.00 aku baru pulang ke rumah, seusai menunaikan amanah di mu’allimaat dan IMM, belum istirahat sejak pukul 7 pagi diriku ini, sampai di rumah masih harus dihadapkan dengan menumpuknya tugas, dan mata ini baru terpejam pukul 02.00 sabtu dini hari.

Sabtu 21 Maret 2009, sebetulnya aku harus stand by di masjid Al iman pukul 7 pagi, namun karena harus mempersiapkan surat dan mengeprintnya baru pukul 8 aku sampai di Masjid Al-iman, dan baru berangkat setelah pukul 9.00. Rombongan musykom ini terdiri dari atika, molly, miftah, mb Luluk, mas ghifari, mas malik, yusro, wisda, mb dania, mb kiti, mb izza, wahyu, ulum, mb qalbi, dll.

Perjalanan yang lama pun kian bertambah lama, karena untuk sekian kalinya anggota dari rombongan tersesat dan terpisah, sehingga harus saling menunggu dan mencari, tapi kelelahan dalam perjuangan pun dapat terobati dengan indahnya pemandangan di sekeliling jalan menuju Mangunan, Bantul.

Aku suka perjalanan ini, penuh tantangan, melewati jalanan yang terjal dan berkelak-kelok, naik turun bukit, diiringi dengan merdu suara burung dan roda motor yang bergesekan dengan batu kerikil.

Lokasi musyawarah komisariat benar-benar berada di pucuk bukit, tak ada lagi tempat yang lebih tinggi dari itu sejauh mata memandang, deburan ombak di laut selatan pun terlihat berkejar-kejaran,,tak henti-hentinya aku mengucap subhanallah!!!

Pembukaan dimulai selepas sholat dhuhur, dilanjutkan dengan pleno 1 yaitu pembahasan tata tertib,,,sepertinya alam turut memeriahkan musykom kali ini, sekitar pukul 14.00 hujan mulai mengguyur lokasi musykom, hujan deras yang diiringi dengan badai. Tentunya kalian dapat membayangkan, biasanya angin di daerah kota atau dataran rendah tidak terlalu kencang, karena ada pohon dan bangunan tinggi yang menahannya, namun ini di dataran tinggi kawan, tidak ada yang dapat menahan kerasnya angin dan badai. Karuan saja pohon-pohon begitu keras berayun-ayun mengikuti arah angin, suara kerikil dan batu yang terangkat pun terdengar amat keras di atap sana, dan bocorlah bangunan yang kami gunakan.

Otomatis Pleno pertama pun ditunda, ada suasana kepanikan yang muncul, karena tempatnya banjir, air hujan masuk melalui celah-celah pintu dan jendela, belum lagi atap yang bocor, air masuk layaknya pancuran, barang-barang mulai diungsikan ke tempat yang aman.

Aku perhatikan teman-temanku yang berjuang di pendopo, Auriza, Devit dan Bustan.. ah kasihan sekali mereka, tentunya angin langsung menerpa tubuh karena tak ada tembok yang menghalangi, dingin yang merasuk ke sumsum tulang, dan badan yang basah karena terkena hujan. Tapi entah mengapa, aku justru amat menikmati situasi ini. Rasanya aku ingin memanjat ke pohon yang tertinggi, mengikuti ayunan angin sambil bernyanyi. Jiwa liarku pun bangkit kembali, andaikata aku membawa cukup ganti, pasti aku akan melakukannya. Tak peduli apa kata orang..hiks hiks, namun aku hanya dapat membayangkannya, ingin sekali ku berteriak, melepaskan kepenatan yang selama ini menghantui.

Ah, tapi aq cukup senang, lama sudah aku tidak menjumpai kondisi seekstrim ini.

kami pindah ke lokasi yang lebih rendah pukul 16.00, dan saat itu banyak anggota komisariat yang baru datang dari kota Jogja. Rapat Pleno 1 pun dilanjutkan, kemudian diteruskan dengan Pleno 2 yang berupa laporan pertanggungjawaban.

dan tahukan kalian, sampai jam berapa kita melakukan Pleno 2?

Sampai jam 3 pagi kawan..

Dan itu pun tinggal beberapa orang yang tersisa, yang lain pada memejamkan mata dan menghangatkan diri...

Setelah sholat subuh pun aktifitas kembali seperti semula, berfoto-foto sejenak kemudian melanjutkan sidang pleno ke-3 dan ke-4, tak ada yang begitu berkesan dalam sidang pleno kali ini, sama seperti musyawarah-musyawarah yang ku ikuti selama ini.

Ternyata acara yang diagendakan dapat selesai siang pun molor hingga sore hari, aku ingat akan amanahku untuk mengajar di Mu’allimaat, sehingga harus pulang mendahului yang lain. Aku pulang bersama Atika dan Wisda, sekali lagi, dalam perjalanan yang jauh pada kali ini aku hanya bermodalkan nekad dan berani bertanya,,,hah, dan benar rupanya, aku lupa jalan pulang, awalnya sih hanya menggunakan insting untuk menentukan arah, namun aku merasa telah jauh tersesat. Dan bertanyalah aku pada penduduk setempat. Aku mengikuti arah yang diberitahukan penduduk tadi, namun aku merasa jalan yang ku lalui sekarang berbeda dengan jalan waktu berangkat.

Kok rasanya kemarin ga sejauh ini untuk mencapai jalan raya?

Hah, namun aku terus melanjutkan perjalanan mengikuti petunjuk penduduk tadi..alhamdulillah, tersesat membawa nikmat, pemandangan yang ku dapatkan ketika pulang jauh lebih indah ketika waktu berangkat, jalanannya lebih terjal dan menantang, subhanallah, aku benar-benar terpana, indaah sekali pemandangan yang ku lihat, ingin sekali aku beristirahat sejenak sekedar untuk menikmati pemandangan yang amat indah itu, aku hanya bisa mengurangi kecapatan motorku karena harus segera mencapai Jogja. Namun ada satu hal yang bisa kulakukan, yaitu berteriak, sepi lenggang, tak ada yang mendengar kecuali Atika, tidak menggema pula suaraku itu, Wisda juga sepertinya terkantuk-kantuk di belakang sana...ah aku merasakan bebas,,

Sampai di Jogja Adzan mahrib berkumandang, kami sholat di Masjid Gede Kauman, wah, aku mulai merasakan detik-detik terakhir sisa energiku, Wisda dan Atika pun merasakan hal yang sama. Setelah itu aku mengantarkan Atika sampai ke kosannya, kemudian kembali ke Mu’allimaat untuk mengajar. Dalam perjalanan, aku mulai mereview kegiatanku dalam beberapa hari terakhir, tidur larut malam, energi banyak yang terkuras, dan benar-benar mencapai puncak kelelahan setelah musykom. Aku tidak yakin dapat mengajar dengan baik di Asrama Maryam Mu’allimaat. Hanya keinginan untuk melaksanakan amanah yang membawaku dapat mencapai Asrama Maryam.

Ting tong, ting tong!!

Aku membunyikan bel asrama,

ah, ternyata anak-anak belum siap, sekalian menunggu waktu isya’ kata mereka. Aku langsung menuju kamar ustadzah, yang tidak lain adalah teman sekelasku dulu, Santi. Astraghfirullah, ternyata tulangku tak kuat lagi untuk menyangga badan, terbujur langsung aku di atas kasur temanku, dan terpejamlah mata. Benar-benar tak sadarkan diri, santi membangunkanku ketika anak-anak sudah siap untuk diajar.

Laa haula walaa kuwwata illa billah, aku mencoba mengumpulkan segenap energi yang tersisa. Sering aku mengajar dalam keadaan lelah, namun baru kali ini aku mencoba mengajar dalam keadaan tak bertenaga, hanya semangat yang tersisa di jiwa..benar-benar seperti kesurupan aku ini, aku hampir tak sadar apa yang telah kuucapkan pada anak-anak didikku, namun senyum mereka seperti membangkitkan jiwaku. Entah kenapa mereka tiba-tiba menjadi murid yang sangat baik, tidak seperti biasanya, kini menjadi mudah diatur dan dipahamkan. Mereka membantuku walau hanya sekadar menghapus papan tulis dan mengambilkan spidol.

Alhamdulillah satu amanah selesai, aku pulang ke rumah dalam keadaan tak karuan, padahal esok hari aku harus presentasi. Alhamdulillah kuucapkan selalu, justru dalam keadaan terjepit dan terdesak seperti ini aku merasakan benar cinta Allah lewat pertolangan-Nya. Ya Allah, aku sangat amat mencintai-Mu...Aku tak tahu, sampai kapan tubuh ini bisa bertahan. Semoga pertolongan Allah dapat kurasakan selalu. amien..

Selengkapnya...

Wednesday, March 18, 2009

sebuah keutuhan

Diriku kini terikat 7 ikatan
Hanya menunggu kain kafan
Lengkap sudah
Dan siap untuk disholatkan

1 ikatan melingkar di leherku, jika ditarik, putuslah kepalaku
1 ikatan melilit di perutku, jika ditarik, terburailah ususku
4 ikatan mengunci tangan dan kakiku, jika ditarik, patahlah tangan dan kakiku
1 ikatan membelenggu otakku, jika ditarik, matilah aku

Ah, hiperbolis mungkin
Namun memang ku sering mendapati diriku dalam keadaan tercerai berai

Hanya dalam kesendirian
Aku merasakan utuh diriku
Sebuah keutuhan
Ketika mata dapat menangis dan hati tersenyum
Menangis mata karena dosa
Sedang hati tersenyum karena merasakan cinta Sang Pencipta

Dalam keramaian
Aku kehilangan keutuhan itu
Wajah ceria namun jiwa menjerit
Ceria oleh canda tawa
Menjerit karena nurani menahan sakit

Wahai kesendirian
Kaulah teman sejatiku
Yang selalu berada di sampingku, saat kesedihan menerpa diri
Dan saat tanah menjadi rumah bagi jiwa yang mati

Wahai keramaian
Aku tak tahu, bagaimana harus menempatkanmu
Karena aku adalah manusia, yang tak mungkin hidup tanpamu

Duhai Robbku
Izinkanlah aku menemukan keutuhan itu, merasakan hangat cinta-Mu
Di setiap waktu

Amien..
Selengkapnya...