“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
“Yassiruu walaa tu’assiruu, Basysyiruu walaa tunaafiruu”
(mudahkanlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah dan jangan dibuat lari)
Hikmah yang dimaksud dalam ayat di atas adalah perkataan yang benar dan tegas yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.“Yassiruu walaa tu’assiruu, Basysyiruu walaa tunaafiruu”
(mudahkanlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah dan jangan dibuat lari)
Dalam Muhammadiyah ayat ini sudah sangat sering disampaikan dan menjadi dasar Muhammadiyah dalam berdakwah, sehingga terciptalah konsep dakwah cultural.
Dakwah Cultural adalah cara berdakwah dengan cara perdekatan budaya. Budaya, tradisi dan adat istiadat yang sudah mendarah daging dalam tubuh masyarakat dihargai, kemudian dikemas dengan nilai-nilai Islam sehingga lambat laun masyarakat dapat meninggalkan tradisi yang berbau TBC (takhayul, bid’ah, khurafat) dengan peribadatan sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah Rosul.
Terkait masalah konsep dakwah cultural, terkhusus budaya selamatan, ada 3 opsi yang ditawarkan
1. Mendatangi acara selamatan, namun secara pelan-pelan harus dapat menjelaskan kepada masyarakat bahwa hal tersebut adalah bid’ah, dan berusaha merubahnya. Mungkin dengan mengkaji ayat-ayat dan dzikir yang dibaca, mengurangi 7harian menjadi 3harian, kemudian menjadi 1hari, dll.
2. Datang tapi terlambat, dalam artian tidak mengikuti tahlilan, namun hanya ceramahnya saja, sebagai kewajiban seorang muslim jika mendapat undangan. Namun, jika seperti ini, masyarakat kurang mendapat pemahaman.
3. Tidak datang, dengan maksud memberikan pelajaran bagi masyarakat bahwa hal tersebut tidak perlu dilakukan. Hal ini menimbulkan konsekwensi yang lebih besar, sebagai ganti tidak mengikuti setiap acara selamatan, orang tersebut harus pintar “srawung” dan bersosialisasi dengan masyarakat pada kesempatan yang lain.
Yang saya bingungkan di sini adalah, apakah cara tersebut efektif untuk menghilangkan tradisi masyarakat? Yogyakarta adalah kota tempat kelahiran Muhammadiyah dan Muhammadiyah pun amat berkembang pesat di Yogyakarta. Namun kenapa di Yogyakarta sendiri tradisi kejawennya masih tumbuh subur? Padahal KHA. Dahlan sendiri dulu tumbuh di lingkungan kraton, sungguh ironis.
kemudian jika kita terlalu apatis terhadap kebudayaan tersebut, maka justru orang non-Islam akan berteriak kegirangan karena mendapatkan kesempatan yang baik untuk memurtadkan orang Islam. Hal ini pernah terjadi di Jawa Timur. Ada sebuah desa yang kebudayaan selamatannya telah benar-benar menghilang, namun hal tersebut terjadi karena pemaksaan, bukan penyadaran. maka masyarakat pun mencari celah untuk dapat melestarikan apa yang diyakininya. dan moment ini dimanfaatkan missionaris, mereka mangadakan selamatan untuk orang Islam, namun yang dibaca bukannya dzikir islami, melainkan ayat-ayat injil yang berbahasa Arab. astaghfirullah
Guru saya berkata bahwa itulah proses, dan itulah yang seharusnya menjadi motivasi kita untuk selalu dakwah amar ma’ruf nahi munkar, karena memang sulit sekali berhadapan dengan tradisi masyarakat. Mengingatkan anggota keluarga sendiri saja kadang kita tidak mampu.
Dan menurut teori dakwah, dakwah itu harus disesuaikan dengan objek yang didakwahi.
Jika orang yang kita dakwahi sudah mampu untuk menerima kebenaran seutuhnya maka katakanlah dengan tegas dan terang, namun jika orang yang kita dakwahi belum mempu untuk menerima kebenaran maka lakukanlah dakwah dengan pendekatan-pendekatan terlebih dahulu.
Konsep ini juga pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Ketika beliau berdakwah di Makkah, yang pertama kali beliau lakukan adalah menanamkan iman dan tauhidullah di hati umatnya. Dan ketika beliau berdakwah di Madinah, beliau mulai menanamkan hukum-hukum agama, jihad, muammalah, dll. Hal tersebut dikarenakan oleh kondisi umat Islam di Madinah yang lebih siap menerima kebenaran dibanding kondisi umat Islam di Makkah. Dan dakwah nabi pun terbukti keberhasilannya.
Jika kita melihat pada sejarah masuknya Islam ke Indonesia, orang Indonesia pada umumnya menyukai Islam karena ajaran agama Islam yang tidak mengenal sistem kasta, penyebaran Islam dilakukan dengan jalan damai, upacara keagamaanya yang sederhana, dll. Walaupun telah memeluk Islam, umat Islam pada waktu itu masih sulit sekali meninggalkan tradisi animisme, dinamisme maupun ajaran Hindu Budha, sehingga dilakukanlah pendekatan-pendekatan kebudayaan. Seperti para Sunan yang mengundang orang untuk memeluk Islam dengan gamelan, wayang kulit yang dijadikan hiburan dikemas nilai Islam dengan diubahnya bentuk tubuh wayang kulit agar tidak terlalu menyerupai manusia, dll.
Dalam babad tanah jawa yang tersimpan di museum Belanda tercatat, bahwa Sunan Kalijaga berkata,
“ aku berharap agar umat Islam di masa mendatang dapat meluruskan apa yang aku perbuat sekarang”.
Yah, karena memang dakwah di masa dulu tidak akan diterima masyarakat jika langsung saklek, ekstrim dan tidak flexible.Kemudian saya mencoba membandingkannya dengan proses penyebaran agama Kristen. Kebanyakan upacara agama kristen tidak murni dari agama Kristen tapi juga ada akulturasi budaya dengan agama Pagan (penyembah alam). Seperti hari Natal, tanggal 25 Desember diambil dari hari raya kaum Pagan. Dulu hari suci kaum Nasrani adalah hari Sabtu, kemudian digeser 1 hari hari Minggu yang merupakan harinya kaum Pagan untuk menyembah matahari ( SunDay=hari matahari).
Umat Kristen saat ini tampaknya tidak terganggu dengan hal semacam itu. Namun umat Islam sangat amat terganggu dengan akulturasi budaya Hindu Budha, animisme dinamisme ke dalam ajaran Islam, karena hal itu amat terkait dengan masalah aqidah.
Lalu dimana letak kesalahan metode dakwah wali songo?
Lalu dimana letak kesalahan metode dakwah Muhammadiyah?
Lalu dimana letak kesalahan metode dakwah umat Islam pada umumya?
2 comments:
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa selamatan kematian setelah hari wafat, hari ketiga, ketujuh dll adalah : MAKRUH, RATAPAN TERLARANG, BID’AH TERCELA (BID’AH MADZMUMAH), OCEHAN ORANG-ORANG BODOH.
Berikut apa yang tertulis pada keputusan itu :
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?
Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
SELESAI , KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
REFERENSI :
Lihat : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
Masalah Keagamaan Jilid 1 - Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu/1926 s/d/ Ketigapuluh/2000, KH. A.Aziz Masyhuri, Penerbit PPRMI dan Qultum Media.
wah..wah
sebuah argumen yang hebat disertai dalil2 yang kuat, nuwun
tapi kebingungan mulai melanda ketika membaca buku
membongkar kesesatan buku mantan kyai NU menggungat shalawatan dan dzikir syirik..
Post a Comment